Inspirasi dari Sahabat ( Cerita "ketika" Kecil) - livejournalofasad.com

Thursday, December 11, 2014

Inspirasi dari Sahabat ( Cerita "ketika" Kecil)

Cerita Sahabat...Sepenggal Kisah Yang Abadi


By : Lilik Miskam Alkarim

Cerita (ketika) Kecil

Abstract


Sekilas mungkin berlebih, ketika hal yang sebenarnya terjadi tapi diceritakan kembali. Bahkan mungkin sekilas menambah-nambahkan takala pengalama dituliskan ketika waktu telah lama terlewat. Tetapi, cerita untuk menginspirasi bukanlah hal yang tak baik untuk dibagikan. Atau bahkan, sebuah cerita sederhana akan menjadi peneyemangat bagi sedikit pendengar atau pembaca. Tapi, semoga saja bisa menjadi pemicu yang besar bagi sedikit orang. Hal tersebut mungkin akan jauh lebih efektif dari keikutsertaan seminar motivasi bagi banyak orang yang terkadang "terpaksa" menghadirinya karena trend atau karena harus ada ditengah-tengah peserta. Brikut, bukan fiksi atau dongeng mungkin meski sebahagian mungkin berfikir ini adalah karangan. Yang jelas, cerita "biasa" ini punya harapan ingin berbagi inspirasi dan share-motivation buat sipenoreh cerita dan "mudah-mudahan" pembacanya.

Lamunan si Kecil yang "kecil".

Terpaan angin yang menyambar ujung kemuning padi sekilas mampu mengerlitkan mata sibocah yang sedang memandang jauh ke ujung persawahan. Kadang dia tersenyum, bernyanyi dalam hati, tapi tak jarang keningnya berkerut dan tampak berpikir dalam. Dan, kadang pula buliran bening ikut menetes bersama butiran embun yang jatuh dari pucuk-pucuk daun padi di depannya. Ya, mungkin takut lamunannya menjeburkannya kedalam lumpur yang kotor tak jauh darinya. Tetapi, sepertinya sang burung tahu persis isi terdalam hati si bocah, bahwa dia tak suka sawah. Hahahah... memang, dapur sang ibu yang memaksanya harus turun untuk menghalau burung yang hendak mengambil padi yang akan menjadi miliknya. Dan tak jarang dia harus menyiangi rumput-rumput di antara rumpun padi dengan jari-jari kecilnya kedalam lumpur. Dia tak punya pilihan :(

Jika sibocah boleh memilih, dia akan memilih pergi ke tempat kursus-kursus idamannya seusai waktu sekolah. Atau, dia akan melakukan sepenuh hati untuk larut bersama tugas-tugas sekolahnya. Bukan "harus" pergi ke ladang untuk menyirami benih kacang panjang, memetik daun singkong untuk dibawa ke pasar esok dini hari seusai subuh bersama adik dan ibunya. Tapi, dia tetap tak punya pilihan :(
Justru semua dilakukan si kecil bersama keluarga hanya karena mereka milih untuk tak pasrah dan menerima semua yang akan tetap sama. Mereka bersama ingin mengubah banyak hal untuk menyabut mentari siang :)

Si kecil memang suka berhalusinasi akan banyak keinginan dan "dongeng" dalam lamunanya. Tak sadar, radio transistor mungil ditangannya mengeluarkan suara kecilllllll yang harus segera dituliskan kecatatan kecilnya. Kata-kata asing yang dicobanya untuk ditulis kembali dengan ejaan versinya sendiri, untuk kemudian dihafalkannya. Tak banyak yang bisa dia tangkap dan tuliskan, karena telinganya tak cukup familiar dengan kata-kata dilafazkan orang-orang dari seberang sana. Kata-kata ini memang sesekali dia dengar dari televisi tetangga tempat biasa menonton bersama.
Ya si bocah tak punya pilihan :( radio transistor kecil ini yang cuma dia bisa pilih untuk mencicil keinginan dan mimpinya untuk bisa mengerti bahasa orang asing, dan siapa tahu bisa menapakkan kaki di negeri orang asing ? hahahah... lagi-lagi bocah itu tersenyum meski dahinya berkernyit tak dapat mendustai sang kecebong yang berenang persis disisi kakinya.


Tapi si kecil selalu mengerti bahwa dia masih bocah, tugasnya hanya belajar yang benar, membantu ibunya, menjaga ladang dan sawah bapaknya serta bermain bersama adik dan tetangganya. Meski, dia mengerti bahwa semua dilakukan untuknya sendiri besar nanti, dan demi keluarganya. Sebab itu, dia harus bersekolah seperti apa yang diinginkan orang tuanya dan mengaji untuk mengerti tak hanya duniawi. 
Si bocah yang cukup energik dan atraktif ditengah-tengah teman tetapi tidak jika ditengah keluarga ini, dengan senang hati menenteng tas kecil yang dibelikan ibunya di kaki lima depan pasar. Alhamdulillah gumamnya, karena tas lamanya sudah banyak lubang hingga pensilnya sering hilang. Terus berjalan ditengah panas tak jadi halangan untuk bocah umur 9 tahun ini. Karena harapan selalu membuatnya girang. Mimpinya selalu bilang bahwa kehidupan nanti takkan seperti ini lagi. Dia tak pernah gundah ketika ditegur oleh temannya yang berangkat dengan mobil oleh ayahnya. Atau, sapaan teman lainnya yang pergi dengan becak dayung agar tak kepanasan. Ya... si bocah ingin seperti mereka. Tapi dalam hatinya dia mengerti bahwa semua belum saatnya untuknya.

Kembali ke sawah sepulang mengaji untuk bercumbu dengan rerumpun kangkung selalu menjadi momok buat si bocah. Tapi semua adalah pilihan, karena kalau tidak dia tak akan bisa membayar BP3 disekolahnya. Untuk itu, dengan serta merta bayangan akan bayaran BP3 selalu menggiringnya untuk melakukan itu semua. 

Dari semua bayangan, kekhawatiran dan mimpi-mimpinya, si kecil punya inspirasi dan motivasi kecil buat dirinya sendiri. Ya, sangat simpel sekali. Dalam hatinya dia hanya bertekad "Aku tidak akan pernah dan mau untuk menggantungkan hidup dari sawah, aku tidak mau seperti para tetangga yang bekerja di pabrik-pabrik dan tidak juga menderes karet atau sawit milik perkebunan" 
Ketakutan ini membuat sikecil terus berusaha dan bertekad untuk sekolah yang benar. Ya, tidak ada yang salah dengan profesi-profesi ini. Dia hanya mengerti bahwa kakinya tak mampu berdiri lama ditangah terik mentari. Tanggannya tak mampu mengangkat beban yang berat dan tenaganya tak seperti para tetangganya.

Tekad sikecil kian bulat dan tertanam didalam hati dan pikirannya. sampai waktu membawanya tumbuh dan tak lagi begitu kecil dan mampu berpikir serta mencari lorong menuju jalan utama.


Mencicil Mimpi yang Kecil

Salinan kecil bahasa asing yang selalu dibawa dari dia kecil, ternyata memberi banyak kontribusi di sekolah barunya. Paling tidak, dia mengerti menjawab ketika guru Inggrisnya bertanya padanya. Jawaban inilah yang membawanya selamat dari hantaman jam-jaman yang terbuat dari papan milik Ibu Simanjuntak gurunya...hahaha. Beruntungnya dia. Paling tidak, bebas dari pukulan sudah meringankan rasa malunya dari teman-temannya yang selalu bertanya kenapa dia masih memakai sandal.

Ya... sandal. Meski sudah lebih satu minggu masuk di sekolah lanjutan barunya, si kecil yang sudah beralih menjadi si remaja ini masih memakai sandal dengan jempol yang terbalut perban :). Karena sementara dia hanya mampu membeli perban untuk kamuplasenya, bukan membeli sepatu. Ya, dia tak punya pilihan :( Pilihannya hanya menunggu Ibunya yang sedang menjenguk bapaknya yang bekerja di kota lain, sambil "berharap" ada uang yang akan dibawa. Paling tidak untuk mengganti uang pendaftaran sekolah yang dipinjam dari teman baru yang baru dikenalnya di tempat pendaftaran sekolah. Alhamdulillah, ada orang baru yang mempercayai si remaja kecil ini....

Sesungguhnya, sang remaja kecil ini tak cukup kuat untuk melawan cerita. Dia hanya punya tangga bambu usang yang tak jarang harus diikat kuat atau disambung dengan ranting untuk menggantungkan mimpinya yang kadang terlalu tinggi. Syukurnya dia selalu mencari temali untuk mengikat tangga menjadi sedikit kokoh untuk menopangnya. Yang dia pegang hanya mimpi kecilnya di saat kecilnya.

Ini salah satu mimpinya, sekolah di kota besar di daerahnya dan cukup menjadi sekolah favorite bagi remaja dikotanya. Meski dia cuma punya harapan yang harus dan harus serta harus dia dapat! ya Beasiswa yang diatawarkan sekolahnya dengan persyaratan blablabla yang dalam hati kecilnya sendiri berpikir tak mungkin dia penuhi. Bukan hanya administrasi, tapi juga persyaratan akademik yang amat sangat berat bagi dirinya yang sebenarnya tak cukup pintar.
Ya, si remaja kecil ini sebenarnya tak cukup pintar. Dia cuma punya semangat dari masa kecil yang dibawanya untuk tetap melangkah dan tak menyerah. Dan akhirnya semangat inilah yang menghantarkan Beasiswa sekolah ketangannya. Paling tidak, satu ketakutan terlewati dalam hidupnya. Bahwa dia akan tetap melanjutkan sekolah tanpa harus membayarnya. Jika saja beasiswa itu tak datang dalam gengamnya, maka semua mimpinya akan musnah karena sekolah takkan lagi menjadi tempatnya.

Alhamdulillahhhh.... akhirnya aku bisa menyetir juga gumamnya dalam hati. Setelah sekian lama memeperhatikan sopir angkutan umum ketika menyetir, dan selalu menghafalkan dalam ingatannya bagaimana cara maju serta mundur. Akhirnya si remaja kecil yakin bahwa dia bisa mengendari mobil. Bukan... bukan untuk menjalani profesi sebagai sopir. Tapi, dia yakin bahwa suatu saat kehidupannya akan menjadi lebih baik. Dan dia mampu menyetir sendiri.
Ya, tak ada yang salah dari profesi sopir. Dia hanya tak ingin beralih profesi dari si penjual kue di sekolah selama sekolah lanjutan menjadi seorang sopir. Atau karena sudah bosan setiap pagi sesudah subuh harus menggoreng bakwan dan memasak Mie yang sudah direndam sejak malam untuk dibungkus dan dibawa ke sekolah untuk dijual ke teman-teman sekolah untuk ongkos transportnya selama 3 tahun sekolah. Tapi, menyetir adalah salah satu keinginan dan cita-cita kecilnya dimasa kecilnya. Paling tidak, dia telah mencicil mimpinya.


Mimpinya Tak Lagi Kecil

Waktu terus belanjut, dan tak bisa untuk dibilang cukup dan berhenti. Si remaja sudah cukup dewasa untuk memilih dan menentukan bagaimana cerita hidup selanjutnya. Paling tidak, bekal tanda tamat belajar dari sekolah lanjutan sedikit membuatnya berani untuk melawan untuk tidak bekerja seperti tetangganya. Mungkin menjadi petugas di supermarket atau tenaga administrasi di perusahaan kecil cukup lumayan buatnya. Tapi... seperti hati kecilnya tak rela jika ternyata mimpinya hanya setinggi itu ia gantungkan. Walau jika melihat bapak, ibu yang sudah hampir menyerah membuat nafas si remaja tersedak dan badannya terasa lunglai. Dia tak punya pilihan :( Meski ia tak mau menyerah..

Kuliah di Ibu kota? hahahah... membawanya terbang ke alam kenangan ketika dia SD, dimana temen-temannya sekelas menertawakannya yang berkata ingin sekali liburan ke Jakarta. Tapi... dia percaya, bahwa ada lilin yang masih bersinar untuk menerangi langkah bimbangnya! walau cuma satu lilin yang ada dalam hatinya. Karena, tak ada tangan yang menggandengnya, tak ada selendang yang mengait dileher untuk menuntunnya. Si remaja hanya punya keyakinan dan keberanian.
Alhamdulillah dia punya ibu yang bijak yang selalu mengajarkannya untuk berani dan bijak membaca keadaan. Ibunya mengajarkan bagaimana berani untuk bicara didepan orang banyak, bersikap dan beretika dihadapan orang yang berbeda-beda. Sehingga, meski terpaksa sang pemuda selalu berani untuk berdiri di depan dan berbicara. Karena, dia tak punya pilihan :(  Jika boleh memilih, dia tak ingin bicara depan orang banyak, dia tak ingin bernyanyi didepan orang banyak.
Dia harus berani berbicara agar orang mengenalnya, agar orang-orang mengapresiasi dirinya dan agar mereka tahu akan kemampuannya. Lebih dari itu, si pemuda ingin mencari jalan untuk melanjutkan mimpinya. Karena tangga bambu tak lagi bambu untuk menyokong tubuhnya.


Jakarta mungkin tempat yang memaparkan mimpi-mimpinya terurai satu per satu. Tak mudah untuk berada di tempat ini. Bukan karena modal yang hanya 500.000 rupiah dipotong ongkos bus dari kotanya ke ibu kota, lebih dari itu bagaimana untuk survive dikota itu. Memang, dia tak harus membayar uang kuliah dan bukunya. Tapi bagaimana dengan makan? sewa kamar?. Dia tak mungkin kembali dan takkan pernah kembali.... harapan sudah begitu besar buatnya. Dia hanya boleh menoleh, bahwa dia punya mimpi yang dibawanya sejak kecil. Dan, lilin yang masih menyala di hati kecilnya, menggambarkan jalan dan cara melalui bayangannya. Membagi ilmu sedikit yang dimiliki, yang didapat dari radio transistor kecilnya dulu kepada orang lain, berbicara didepan orang seperti yang diajarkan ibunya mungkin bisa menyambung modal 320.000 rupiah ketika sampai di kota ini. Alhamdulillah... kota ini mempunyai banyak malaikat yang menguatkannya, yang tak pernah memandangnya sebagai seorang dari seberang dengan banyak ketidakbisaan. Mereka mengajariku lebih bagaimana public speaking, bagaimana menggunakan komputer tanpa harus kursus, bagaimana menyetir dengan baik dan bagaimana menempatkan diri dikota yang sering tak ramah ini. Terima kasih malaikat-malaikatku....


Mimpi Yang Bukan Lagi Mimpi

Si pemuda telah melampaui batas waktu untuk menjadikannya dewasa. Memilih dan berkompetisi adalah hidupnya. Dia telah jujur dengan dirinya, bahwa obsesi bukanlah prioritasnya. Hidupnya sudah melewati mimpi kecilnya disaat kecilnya. Paling tidak, bekal saat kecil ketika dia kursus lewat radio transistor kecil telah mendatangkan banyak manfaat untuknya. Sawah telah memberi pelajaran hidup yang penting baginya untuk melangkah dan berlari bersama mimpi. Daun singkong, memetik kangkung, berjualan di pasar subuh telah mengajarkan tentang arti mengerti orang lain dan lingkungan. Sementara, membantu ibu membuka dan menjaga warung di pasar, berjualan buah di emper toko, membuat dan menjual kue di sekolah telah memberikan pengertian tentang hidup yang tak harus menyerah dan bersyukur.

Kini, langkahnya pernah berjalan diantara rimba beton Tokyo dan seluruh Jepang. Taangannya pernah melenggeng di jantung kota New York city. Matanya pernah menatap indahnya Eropa. Sekolah tak lagi hanya sekolah SD inpres yang dikenang dikampungnya, tapi juga beberapa universitas kenamaan didunia tempat si pemuda pernah belajar.
Mimpinya bukan lagi untuk menjadi pegawai administrasi di perusahaan kecil, semoga saja lebih dari semua mimpi. Karena, diperjalanan hidupnya, kata-katanya pernah didengarkan orang-orang penting di negara lain, pemaparannya pernah diperhatikan dibeberapa kementerian dan departmen negara lain. Semoga semua bisa membuka kenyataan-kenyataan lainnya.

Paling tidak......
Si pemuda pernah memakai kata-kata asing yang dulu dia sadur dari radio kecil ditepian sawah dengan ejaan yang tak karuan. Dia pernah berkendara di tengah kota besar dunia dengan modal ajaran abang sopir angkot semasa sekolah. Serta, dia mengerti benar tentang makna ALHAMDULILLAH....


Terima Kasih

Ditengah kejenuhan, semua gambaran tentang masa-masa kecil cerita kecil ini menjadi penyejuk untuk tetap mempunai gairah dan semangat, bahwa hidup begitu penuh harapan. Jangan menyerah, kuatkan hati, berjiwa besar, percaya diri dan bersyukur. There is only One Life. Thus, there is only Once Chance.

Kemudian, si kecil yang tak lagi kecil mungkin hanya punya satu obsesi kecil. Jika nanti kan ada rezky mempunyai buah hati yang kecil, dia kan menyenangkan dan membahagiakannya dengan tak lupa mengajarkan dan melatihnya untuk mandiri, berhati besar, berani, percaya diri dan berbudi pekerti.

Si kecil yang tak berjiwa kecil mungkin hanya bisa memejamkan mata, hanya untuk sekedar bisa mengucap terima kasih karena belum mampu berbuat lebih. Untuk Ibu dan Bapaknya, keluarganya dan untuk malaikat-malaikat yang yang sudah membukakan matanya tentang dunia dan mengelus pundaknya, menenangkannya untuk menjadi kuat, tegar dan bersyukur.


Closing Note:

Terlepas cerita ini fiksi atau non-fiksi. Atau mungkin merupakan karangan yang terlalu berlebihan, Tapi semoga bisa menjadi inspirasi dan motivasi bagi sipenyampai dan buat yang berkenan membaca.
Semoga memberi manfaat bersama... Amin

Brisbane, February 8, 2011.
By : Lilik Miskam Alkarim
https://www.facebook.com/notes/lilik-miskam-alkarim/cerita-ketika-kecil/199359143410837


No comments:

Post a Comment

Anyone can give the idea, information or question
Dont Be Shy.....